Mencemburui Para Pejuang Skripsi


Aku hampir tidak tahu harus bersikap seperti apa untuk menanggapi tingkat stress yang di alami oleh para mahasiswa tingkat akhir. Hidup di tengah-tengah merka menguji seberapa kuat aku menghadapi ujian hidup ini. Sebagai seseorang yang hanya mentok lulus SMK, aku harus siap menerima stereotip di masyarakat yang mengatakan bahwa SMK tak punya cukup skill

Baiklah, jika boleh jujur, aku memang cemburu pada kalian para mahasiswa yang bisa merasakan mengenakan toga dan menyematkan gelar sarjana di belakang nama. Sedangkan aku, bisa apa? Meratapi nasib disini melihat euforia kalian yang berbahagia di luar sana? No, i wont be like that.  Memperdebatkan gelar sarjana hanya akan membuatku tampak seperti manusia bodoh yang terkesan iri. Aku tak mau terlihat demikian adanya.

Meski aku tak tahu banyak tentang skripsi, aku cukup bisa untuk diajak bertukar pikiran mengenai topik yang akan kalian angkat dalam skripsi. Trust me, aku sudah menerima banyak curahan hati kawan-kawan yang berada pada tingkat "REVISI DITOLAK DOSEN". Bahkan, aku pernah membantu mencarikan sebuah case study untuk bahan skripsi teman-teman yang juga sedang berjuang. 


Sedikit flashback tentang studi saya boleh, ya:

Aku adalah lulusan SMK N 7 Semarang, sekolah yang cukup ternama dan cukup terpandang di Indonesia. Yes, almamaterku ini punya nama lain, STM Pembangunan yang cuma ada 4 di Indonesia, dan SMK 7 menjadi salah satunya. Aku sekolah 4 tahun lamanya (bukan karena bodoh, tapi memang aturannya demikian). Setahun lebih telat dari teman-teman seusiaku. Dan aku lulus di tahun 2013 dari jurusan Teknik Komputer Jaringan.

Masuk di jurusan ini, bukan pilihanku. Itulah sebabnya aku tidak bisa menikmati dengan baik segala proses yang aku jalani di sekolah ini. Tapi, jika mengingat sebuah kalimat penyemangat bahwa Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan, Aku menyerah. Empat tahun terjebak membuatku tidak bisa berkembang dengan baik. Sampai detik ini pun, aku tidak bisa jika harus mengulang materi yang pernah aku dapat di almamater tercintaku itu. Debian, Linux, Jaringan, HTML, CSS, Animasi, dan beragam materi lain seolah hanya menjadi kenangan manis dalam hidupku.

Lulus SMK, aku tidak mendapat restu untuk langsung kuliah. Kata Ibuku, kuliah itu mahal. Even aku tidak meminta biaya dari Beliau, setidaknya Ibuku paham bahwa aku pasti akan lelah menjalani hari-hari  yang sibuk jika aku kuliah kerja. Negosiasiku berjalan satu tahun. Aku akhirnya memutuskan untuk kuliah di salah satu Top 10 PTS terbaik di Indonesia. Masuk di jurusan favoritku, Psikologi ternyata memunculkan dilema baru bagiku. Klise, aku tak punya cukup uang untuk membayar uang gedung yang lumayan pada saat itu. Meskipun aku masuk sebagai mahasiswa berprestasi, nampaknya Tuhan masih memintaku berjuang  lebih keras lagi. 

Akhirnya, aku downgrade ke jurusan komunikasi. It's okay. Jurusan ini masuk ke wishlist-ku juga pada saat itu. Satu semesterku berjalan lancar. Sangat lancar malah. Sebagai mahasiswa yang kuliah kerja dan pulang malam setiap hari, tugasku tetap ter-handle dengan sangat baik. Iyaps, IPK-ku 3,5 tergolong lumayan untuk anak yang suka bolos dan titip absen. Bhay! Kadang pekerjaan sedikit menyita waktu kuliah dan mengharuskan untuk bolos. Maafkan Aku, Pak Dosen :D



Masalah muncul saat semester kedua, ketika aku merasa kuliahku terasa nggak worth it. Kenapa? Semua orang yang pernah kuliah pasti merasakan hal yang sama. Jam kosong, dosen nggak datang, dosen suka kasih tugas sewenang-wenang meninggalkan mahasiswanya dan doi pergi ke acara lain dengan dalih MAHASISWA CUMA BUTUH ABSEN. Mungkin beberapa berpikir ini lebay. Tapi, aku yang kewalahan membayar sebegitu mahalnya merasa ini nggak banget! Anyway, saya pernah menulis ini untuk lomba writing competition Kompas dan menang di juara II. Cek tulisan disini, ya!

Singkat cerita, saya memutuskan untuk keluar setelah Dosen sekaligus Kaprodi Jurusan juga resign. Hal yang bukan direncanakan dan kebetulan memang bersamaan waktunya. Saya sedih, melihat sistem pendidikan yang demikian berjalan begitu lama. Hal yang pernah saya alami juga dulu. Dan mungkin sudah dianggap wajar dan rasanya munafik untuk menampik bahwa ada yang tidak suka dengan sistem tersebut. Sebut saja, Aku.


"Dosen itu yaaaaa melakukan kewajiban mengajar dan mendapatkan hak gajinya, dan tentu mahasiswa juga berkewajiban membayar kuliah dan mendapatkan hak untuk mendapat ilmu dari dosen. Nah, kalau gini kan enak, ya to?"

Tolong, hargai prinsipku. Aku hanya ingin merasa kuliahku bukan sekadar absen, ujian, dapat IPK, skripsi, dan lulus dengan gampang. Aku ingin belajar menikmati proses yang manis selama 3,5-4 tahunku yang aku jalani. Sayangnya, aku tak bisa mentolerir hal ini terlalu lama. Memperbaiki sistem yang sudah mendarah daging itu tidak mudah dan salah satu cara yang bisa aku lakukan adalah keluar dari sistem yang kurasa merugikan tersebut.

Sampailah aku pada titik stress. Pekerjaan yang masih belum jelas sebagai seorang freelancer dan status mahasiswa sudah mulai menghilang. Aku seperti orang hilang arah pada saat itu. Empat bulanku terasa hampa. Aku mulai menata diri saat itu, mencoba melamar pekerjaan dan alhamdulillah diterima. Aku bersyukur, bisa melewati semuanya dengan tetap stay cool meskipun batin bergejolak sedemikian parahnya.

Dan sekarang, impian untuk bisa berlabuh ke Jakarta, terpenuhi. Aku ada di kota metropolitan sekarang. Kota yang memang sedari dulu membuatku penasaran. Sehebat apa kota ini hingga banyak orang yang ingin menaklukkan dan menjadi bagian darinya. Rasa penasaranku akhirnya terjawab. Kota ini memang istimewa. Terlepas dari macetnya yang luar biasa atau ego manusianya yang nggak karuan parahnya. Tapi, Aku bersyukur bisa ada disini, bergabung dengan perusahaan yang membukakan mataku lebih lebar lagi.
back to topic

Toga-toga berhamburan di timeline sosial mediaku. BBM, Facebook, Instagram, Twitter, Path dan semuanya berakhir begitu luar biasa ramai. Melihat keceriaan itu, aku turut bahagia, tentu saja. Sekaligus sedih. Aku kapan pakai toga? Tapi ada hal lain yang lebih menyedihkan daripada melihat toga-toa itu terpampang jelas dihadapanku. Aku bersedih atas kesempatan yang disia-siakan. Maksudnya?

Lihat, berapa banyak yang mengeluh tentang tugas yang banyak dan tiada henti. Berapa banyak mahasiswa yang tidak bersyukur bisa diberikan kesempatan untuk duduk di bangku kuliah, dan berdinamika dengan proses. Aku menyesali sikap pesimis mereka. Mengapa mereka harus mengeluh? Apa yang mereka butuhkan lagi dalam hidup? Kuliah difasilitasi orangtua, transportasi masih ditanggung, uang jajan masih lancar, dan tidak perlu memikirkan bagaimana mereka harus berjuang untuk tetap bisa kuliah tanpa biaya dari orangtua.

Halo, mahasiswa yang masuk kategori tersebut, jika aku diijinkan masuk ke dalam dimensi yang sama dengan kalian. Aku akan sangat bersyukur. Aku akan teramat sangat berusaha mendapatkan IPK yang terbaik, pengalaman lomba yang luar biasa (karena beberapa lomba hanya bisa diikuti oleh mahasiswa saja) dan terus menggali ilmu dari dosen yang tiada habisnya. Sayangnya, dimensi kita berbeda. 

Kalian duduk disana dan aku duduk disini. Kalian menghabiskan waktu untuk membuat tugas dan aku berkutat dengan deadline. Kalian masih bisa makan enak tanpa mikiir biaya dan aku harus berusaha mati-matian irit supaya akhir bulanku tidak sengsara. Hahaha.... Alangkah lucunya negeri ini.
Wahai para pejuang skripsi, berjuanglah. Kalian pasti bisa menyelesaikan setiap lembar dengan baik. Janganlah terlalu terburu-buru. Skripsi yang cepat tak lantas jadi jaminan karir yang melesat. Berdamailah dengan proses. Jika sampai saat ini dosenmu masih membuatmu merasa sulit untuk segera bertemu toga, berprasangka baiklah. Ada proses yang ingin Tuhan tunjukkan kepadamu. Sebuah proses yang akan selalu kamu ingat ketika kamu sudah berada di atas dan menuliskannya rapi dalam biografimu.

Aku cemburu pada kalian para pejuang skripsi karena aku belum bisa masuk pada tahap itu. Tapi aku akan tetap seperti ini, belajar berdamai dengan proses yang tiada henti membuatku terus belajar dan belajar tentang kehidupan yang memberi banyak arti. Skripsimu hanya sebagian kecil dari ujian Tuhan untukmu. Bersiaplah, mentalmu akan lebih diuji lagi pada jenjang setelah ini. Dan percayalah, topik skripsi dan proses untuk membuat skripsimu, menunjukkan seberapa serius kamu berusaha untuk bisa mengenakan toga dengan perasaan bangga yang tidak akan pernah terlupa.

Jakarta Pusat,
24  Juni 2016

6 Comments

  1. Hiks...hiks...
    Bikin hati sendu nok.
    Tapi bu tami tetap berharap,, kamu akan tetap berjuang untuk toga itu. Kakak kelasmu byk yg di jkt dan juga bekerja sambil berjuang mendptkan toga. Tetap semangat nok !!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Bu Tami supportnya, doakan anak didikmu ini tetep strong :)

      Hapus
    2. Aku malah iri sama kamu dengan semua pengalaman,kemandirian, pemikiran dan kecerdasan kamu sept..

      kamu salah satu idola ku :)

      Hapus
    3. Hiks, terharu mba bacanya, makasih banget ya mbaa :")

      Hapus
  2. Menurut saya sebenarnya الله سبحانه وتعالى telah memberikan jalan terbaik buat kamu. Menengok carut marutnya sistem pendidikan saat ini langkah yang kamu ambil adalah langkah yang terbaik. Tidak perlu menjadi sarjana jika ingin menjadi orang hebat, orang hebat bisa lahir dari kalangan mana saja. Ada suatu pepatah yang sangat bagus menurut saya, emas tetap lah emas meski dia telah jatuh didalam lumpur. Jika kamu suka pada suatu hal tekuni itu jadilah emas dengan itu meskipun kamu pernah jatuh di kubangan, dirimu akan tetap menjadi emas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, terima kasih sekali semangatnya. doakan saya bisa jadi orang yang bermanfaat yaaa :)

      Hapus

Halo!

Terima kasih telah membaca blog www.dwiseptia.com. Semoga konten yang ada di blog ini bisa menginspirasi. Doakan saya bisa produksi konten yang lebih baik, ya!
Oh, ya kalau ada rekues konten silakan tulis di kolom komentar, ya! ^^

Follow Me On Instagram