Dimensi Waktu di Dua Kota Berbeda Ternyata Sungguh Terasa. Jakarta - Semarang
DwiSeptia - Hidup di dua dunia seperti pada film fiksi yang diceritakan terlihat begitu menyenangkan dan terlihat sangat mudah. Nyatanya, di kehidupan nyata tidak demikian adanya. Boro-boro deh bisa hidup di dua dunia. Hidup di dua kota saja rasanya sudah bikin nyut-nyutan kepala. Yay! Aku merasakan bagaimana rasanya hidup di dua kota dan merasakan perbedaan dimensi waktu yang luar biasa.
source: google |
Semarang
Lahir dan besar di Semarang membuatku tidak tahu menahu tentang glamornya kota lain. Iya, aktivitas normal baru dimulai bada subuh dan selesai ketika pukul 9 malam. Damai sekali rasanya. Nggak ada ceritanya pulang malam itu sebuah kewajaran. Bahkan, terlalu sering pulang malam di Semarang akan menimbulkan kesan negatif dari oranng-orang sekitaran. Nakal lah, nggak bener lah, nggak tahu aturan, lah dan lain sebagainya lagi.
Beranjak dewasa, kegiatan semakin terasa padat dan luar biasanya menyita waktu. Pagi sampai malam rasanya kurang. 24 jam kalau bisa ditambah, pengen deh ditambahin biar bisa melek dan produktif sepanjang waktu tanpa harus mikirin ini itu. Bahkan, dulu pas masih merasakan sekolah-kerja dan kuliah-kerja, hampir nggak ada waktu untuk istirahat dan itu teramat sangat menyenangkan. Meski terasa lelah, tetapi bisa menyelesaikan banyak hal dalam satu hari benar-benar bisa mengajarkanku tentang manajemen waktu.
Setahun belakangan ini aku mulai pindah ke Ibukota Indonesia, Jakarta. Kota metropolitan yang glamornya Masya Allah ini membuatku sedikit kaget. Ada perubahan hingga seratus delapan puluh derajat yang aku rasakan. Jam kerja yang berbeda, kondisi jalanan yang berbeda, hingga lingkungan yang luar biasa berbeda.
Jakarta (Maret 2016)
Per awal bulan ketiga di tahun 2016, aku resmi pindah ke Jakarta. Kota nomor satu di Indonesia ini benar-benar membuatku ingin menyerah. Untuk bisa mengikuti ritme kota ini saja membuatku harus konsultasi ke klinik karena beberapa masalah pencernaan.
"Saya sakit apa, dok?"
"Dari recordnya sehat padahal. Yakin nggak salah makan?"
"Enggak kok, normal."
"Tinggal di mana?"
"Saya baru ngekos di Jakarta Pusat"
"Oooh, baru di Jakarta berapa lama?"
"Baru banget pindah. Sebulan belum ada kali. Kenapa?"
"Sakitmu ini karena stress berarti. Obatnya ya satu, adaptasi dan jangan stress!"
Ini adalah percakapan paling absurd, paling bikin malu dan paling ah entah sampe bingung pas dapat jawaban ini. Periksa tanpa dikasih resep obat dan cuma disuruh pulang, rileksin pikiran dan istirahat biar stressnya ilang.
Yes, awal kali ke Jakarta aku stress berat. Macet yang nggak ada abisnya, jam yang rasanya cepet banget. Waktu rasanya gitu-gitu aja. Berangkat pagi, sampai kosan malem, Sampai kosan sudah nggak bisa ngerjain yang lain karena udah capek, mandi lalu tidur. Paginya begitu lagi dan repeat sampai berhari-hari. Kagetnya bukan main!
Setelah satu tahun lamanya beradaptasi aku mulai terbiasa dengan kota Jakarta. Menyenangkan atau tidak itu tergantung bagaimana aku bisa face the world in this metropolitan city. Terutama soal menghargai waktu yang ternyata sungguh mahal harganya.
11/2 2017
Aku pulang ke Semarang. Ada banyak hal yang selalu ingin kulakukan selama aku di Semarang. Kalau bisa nggak tidur untuk memastikan checklistku terpenuhi semua, mungkin aku akan melakukan itu. Hari ini contohnya. Aku kesal bukan main. Sepulang dari camping, aku sudah merencanakan untuk pergi ke Semawis dan ke Tembalang untuk menengok murid lesku dulu. Sudah matang sekali rencananya dan tinggal eksekusi. Tetapi, ada 'sesuatu' yang memaksaku untuk menunggu. Okelah, kalau hanya 1 hingga 2 jam lamanya aku masih bisa menunda jadwalku dan pulang lebih larut.
Sayangnya, pihak yang tak bertanggung jawab tersebut menjadikan 4 jamku terbuang sia-sia tanpa kepastian. Aku kesal bukan main. Rasanya ingin mengatakan kepadanya bahwa seseorang itu dimintai tolong bukan untuk dipermainkan. Hingga malam ini bahkan masih belum ada kepastian darinya. Masya Allah, kedua acaraku gagal dan dia masih tidak ada kabar kapan akan datang. Wanita memang sungguh dengan ketidakpastian.
Baca Juga: Work On What Makes You Happy
Sebenarnya yang bikin kesal bukan hanya tentang menunggu 4 jam lamanya. Karena ketidakpastian tersebut, aku jadi batal ke Tembalang dan lebih parahnya aku batal ke Semawis. Kan bisa besok ke Semawisnya. FYI, Semawis Pecinan Semarang hanya buka di weekend saja. Untuk weekdays, Semawis tutup. Kebayang kan kesalnya seperti apa? Waktu tidak bisa diulang begitu saja. Hari Senin Semawis tutup. Tahu kan apa artinya? Aku baru bisa ke sana untuk kepulanganku selanjutnya. Huft....
Aku heran dengan orang-orang yang seperti ini. Membuat janji lalu membiarkan semuanya seperti tidak terjadi apa-apa. Membatalkan sepihak tanpa kepastian. Padahal, yang diajak janjian bisa jadi memiliki 'hal yang lebih utama' tetapi tetap mengutamakan teman yang sedang butuh bantuan. Cmon guys, hidup bukan tentang keegoisan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Aku menyadari satu hal bahwa, menjadi tegas itu perlu. Menjadi baik itu memang nggak boleh pilih-pilih, tetapi menjadi terlalu baik hingga mengorbankan kepentingan pribadi itu juga nggak baik, sih. Tulisan ini adalah pelipur lara, untuk mengingatkan diri ketika lupa agar kejadian yang sama tidak lagi terulang.
Salam,
Semarang
0 Comments
Halo!
Terima kasih telah membaca blog www.dwiseptia.com. Semoga konten yang ada di blog ini bisa menginspirasi. Doakan saya bisa produksi konten yang lebih baik, ya!
Oh, ya kalau ada rekues konten silakan tulis di kolom komentar, ya! ^^