Tidak Perlu Risau Ketika Ada yang Bertanya "Kamu Lulusan Universitas Mana?" Sebab Akan Selalu Ada Jawaban Untuk Mereka
Keputusan untuk keluar dari dunia perkuliahan 3 tahun yang lalu bukanlah suatu keputusan yang mudah. Ada banyak hal yang berat untuk dilepas, namun tak bisa digenggam agar tak ada pihak yang semakin tersakiti karena ego untuk tetap berada di kampus menjalani masa-masa perkuliahan. Ini mau nulis blog aja galau abis, ya hahahah.
Perjalananku untuk bisa mewujudkan mimpiku bisa menempuh pendidikan sampai S3 tidak semulus kawan-kawan seangkatan. Sejak SD aku sudah dibiasakan untuk mandiri dengan mencari uang sendiri. Uang saku dari jual makaroni dan jajanan ringan lainnya. Sewaktu SMP, aku juga jarang sekali ke kantin. Memang tidak ada uang saku yang cukup untuk dihambur-hamburkan. Dan selama SMK, aku sudah mulai bekerja apapun yang aku bisa, mulai dari menjadi admin, freelance content writer, ustadzah, hingga menjadi seorang freelance animator yang bekerja selepas sekolah dan pulang larut hampir setiap hari.
Hingga suatu ketika, aku jatuh sakit hingga harus diboyong ke Rumah Sakit karena harus menjalani opname. Iya, aku terkena penyakit Tipes. Penyakit yang siapa saja bisa kena karena terlalu lelah dan pola makan yang nggak karu-karuan. Gajiku pun mau tak mau harus terpakai untuk biaya pengobatan. Sedih sekali perjuangan waktu itu, memang.
Belum selesai sampai di situ, aku harus kembali struggle dengan keadaan ekonomi yang memang tidak memungkinkanku untuk melanjutkan ke bangku kuliah dan belajar seperti teman-teman lain. Aku dilarang untuk kuliah oleh ibuku. Bukan tanpa sebab. Biaya masuk kuliah yang tinggi membuat ibuku was-was aku akan semakin sakit dan kerepotan untuk menanggungnya sendiri.
Aku mencoba untuk mendaftar ke beberapa Universitas unggulan pada tahun itu, namun ditolak. Nasib jadi anak STM, ada saja program pemerintah untuk uji coba program bahwa SMK tidak boleh masuk ke Universitas dan hanya bisa masuk ke Politeknik. Sungguh program yang sangat-sangat tidak menguntungkan siswa sepertiku ini.
Pentingnya Restu Orang Tua Untuk Bisa Menjadi Sarjana
Do you believe that ketika orang tua bilang enggak, lalu hidupmu akan jadi kacau balau?
Aku percaya. I did believe it. Sejak ibuku tak memberi restu untuk kuliah, aku tetap nekat berusaha daftar sana-sini. Hingga, akhirnya aku diterima di salah satu Universitas Swasta terbaik di Jawa dan aku bahagia sekali. Sayangnya, tidak ada restu membuatku kembali dirundung kesulitan soal biaya. Aku tak punya cukup uang untuk membayar biaya masuk kuliah, uang gedung. Padahal, aku mendapatkan potongan biaya 75% karena ranking 1 di jurusan tersebut.
Akhirnya aku pinjam sana-sini dan harus downgrade ke jurusan lain. Awalnya Psikologi, lalu ke Komunikasi. Sedih sih, tapi aku belum menyerah. Selama enam bulan kuliah, aku tak pernah mendapatkan nilai buruk. Meski suka telat dan kadang titip absen karena tuntutan kerja, IPK-ku cukup tinggi, yaitu 3.5. Yah, meski nggak sempurna, ini IPK mayan banget untuk anak yang kadang masuk kadang enggak.
Aku bertemu dengan seorang dosen, Algooth Putranto namanya. Seseorang yang nyentrik dan memang asli cerdas. Aku suka dengan cara mengajarnya di kelas. Keras, disiplin dan tegas. Dia adalah dosen, teman, bapak, mungkin pacar buatku. Teman curhat yang paling bisa bikin kedewasaanku terbuka dan membukakan insight bahwa kuliah itu nggak melulu soal IPK. Fokusin aja ke belajar, cari insight baru karena nanti di luar itu sebenar-benarnya duni yang mana IPK nggak akan lagi kepake.
Aku seringkali mendapatkan project dari Algooth Putranto, dosen kesayangan selama dua semester. Bahkan, aku sering berangkat jam 6 pagi sudah sampai di kampus untuk mengerjakan tugas analisis berita dari Beliau. Beliau juga pernah membayariku untuk ikutan seminar kepenulisan dari Kompas Gramedia dan untuk menghormati Beliau, aku akhirnya ikutan lombanya dan alhamdulillah menang juara 2 se-Jawa Tengah tentang Pengalaman paling berkesan di sekolah.
Tulisan ini mewakili segala gundah gulana semasa kuliah di mana dosen seringkali meninggalkan mahasiswanya dalam kelas kosong. Aku berusaha menuliskannya menjadi sebuah karya dan alhamdulillah aku menjadi juara. "Pak, anakmu dapat juara II, Pak." begitu isi WA-ku ke Beliau. Dan seperti biasa jawabannya datar -_- hahahaha...
Setelah semester 1 berarkhir, aku mendengar rumor bahwa Algooth Putranto, dosen tersayangku akan pergi, resign dan tak lagi mengajar.
Lalu, akan dengan siapa aku berdiskusi?
Siapa lagi yang akan peduli dengan isi otakku?
Akan dengan siapa aku mencurahkan isi hatiku?
Bagaimana kau bisa bertahan tanpa dirinya?
Aku marah. Aku kecewa. Aku sedih bukan main tahu Beliau akan pergi. Aku mengajar Beliau makan, berdua seperti biasa. Aku melakukan interogasi agar si bapak mau jujur tentang motifnya. Aku lemas mendengar kabar Beliau akan pergi dan tak lagi mengajar. Kataku, "Aku akan dengan siapa di sini kalau bukan sama Bapak?" Suasana mengharu biru.
Dan aku tertipu. Beliau harusnya keluar di akhir tahun. Tiba-tiba sejurusan dikumpulkan di Ruang Theater dan Beliau berpidato. Baru masuk ke ruangan, air mataku sudah jatuh. Saat Beliau berbicara pun aku sudah sesenggukan bukan main. Jahat memang. Dia jahat! Hahahahahha
Sebelum Beliau ke Jakarta, kami breakfast berdua, lalu kami bercakap-cakap.
A: Aku
B: Bapak
A: "Gue mau keluar kuliah aja, ngapain di sana tetep kuliah kalo lo ga ada, Ga ada seorangpun kecuali elo yang peduli biaya kuliah gue. Ga ada yang bakalan bantuin gue untuk bisa survive dapat uang untuk bayar kuliah."
B: "Yakalo itu pilihan terbaik yaudah, gpp."
A: "Kenapa sih pak harus pergi?"
B: "Ya karna ga ada yang perlu diperjuangin di sini."
A: "Gue pengen kuliah, tapi gue gabisa kalo ga sama kerja. Terlalu rumit"
B: "Lo udah gede, lo pasti bisa tentuin mana yang prioritas, kok. Gue percaya lo bisa jadi orang suatu saat."
Tidak lama setelah itu, aku kabur dari kampus. Aku hanya berpamitan pada satu dosen saja, tidak pada teman-temanku. Sulit sekali rasanya menerima bahwa aku tidak bisa lagi menjadi bagian dari kampus dan tidak bisa mewujudkan cita-citaku untuk bisa jadi sarjana.
Namun, aku selalu bersyukur mengenal Algooth Putranto sebab banyak sekali hal yang Beliau ajarkan kepadaku, baik secara langsung atau tidak. Katanya,
Akhirnya aku pinjam sana-sini dan harus downgrade ke jurusan lain. Awalnya Psikologi, lalu ke Komunikasi. Sedih sih, tapi aku belum menyerah. Selama enam bulan kuliah, aku tak pernah mendapatkan nilai buruk. Meski suka telat dan kadang titip absen karena tuntutan kerja, IPK-ku cukup tinggi, yaitu 3.5. Yah, meski nggak sempurna, ini IPK mayan banget untuk anak yang kadang masuk kadang enggak.
Aku bertemu dengan seorang dosen, Algooth Putranto namanya. Seseorang yang nyentrik dan memang asli cerdas. Aku suka dengan cara mengajarnya di kelas. Keras, disiplin dan tegas. Dia adalah dosen, teman, bapak, mungkin pacar buatku. Teman curhat yang paling bisa bikin kedewasaanku terbuka dan membukakan insight bahwa kuliah itu nggak melulu soal IPK. Fokusin aja ke belajar, cari insight baru karena nanti di luar itu sebenar-benarnya duni yang mana IPK nggak akan lagi kepake.
Aku seringkali mendapatkan project dari Algooth Putranto, dosen kesayangan selama dua semester. Bahkan, aku sering berangkat jam 6 pagi sudah sampai di kampus untuk mengerjakan tugas analisis berita dari Beliau. Beliau juga pernah membayariku untuk ikutan seminar kepenulisan dari Kompas Gramedia dan untuk menghormati Beliau, aku akhirnya ikutan lombanya dan alhamdulillah menang juara 2 se-Jawa Tengah tentang Pengalaman paling berkesan di sekolah.
Tulisan ini mewakili segala gundah gulana semasa kuliah di mana dosen seringkali meninggalkan mahasiswanya dalam kelas kosong. Aku berusaha menuliskannya menjadi sebuah karya dan alhamdulillah aku menjadi juara. "Pak, anakmu dapat juara II, Pak." begitu isi WA-ku ke Beliau. Dan seperti biasa jawabannya datar -_- hahahaha...
Hanya Dua Semester Saja, Aku Lalu Pergi Menjauh dari Hingar Bingar Perkuliahan
Setelah semester 1 berarkhir, aku mendengar rumor bahwa Algooth Putranto, dosen tersayangku akan pergi, resign dan tak lagi mengajar.
Lalu, akan dengan siapa aku berdiskusi?
Siapa lagi yang akan peduli dengan isi otakku?
Akan dengan siapa aku mencurahkan isi hatiku?
Bagaimana kau bisa bertahan tanpa dirinya?
Aku marah. Aku kecewa. Aku sedih bukan main tahu Beliau akan pergi. Aku mengajar Beliau makan, berdua seperti biasa. Aku melakukan interogasi agar si bapak mau jujur tentang motifnya. Aku lemas mendengar kabar Beliau akan pergi dan tak lagi mengajar. Kataku, "Aku akan dengan siapa di sini kalau bukan sama Bapak?" Suasana mengharu biru.
Dan aku tertipu. Beliau harusnya keluar di akhir tahun. Tiba-tiba sejurusan dikumpulkan di Ruang Theater dan Beliau berpidato. Baru masuk ke ruangan, air mataku sudah jatuh. Saat Beliau berbicara pun aku sudah sesenggukan bukan main. Jahat memang. Dia jahat! Hahahahahha
Sebelum Beliau ke Jakarta, kami breakfast berdua, lalu kami bercakap-cakap.
A: Aku
B: Bapak
A: "Gue mau keluar kuliah aja, ngapain di sana tetep kuliah kalo lo ga ada, Ga ada seorangpun kecuali elo yang peduli biaya kuliah gue. Ga ada yang bakalan bantuin gue untuk bisa survive dapat uang untuk bayar kuliah."
B: "Yakalo itu pilihan terbaik yaudah, gpp."
A: "Kenapa sih pak harus pergi?"
B: "Ya karna ga ada yang perlu diperjuangin di sini."
A: "Gue pengen kuliah, tapi gue gabisa kalo ga sama kerja. Terlalu rumit"
B: "Lo udah gede, lo pasti bisa tentuin mana yang prioritas, kok. Gue percaya lo bisa jadi orang suatu saat."
Tidak lama setelah itu, aku kabur dari kampus. Aku hanya berpamitan pada satu dosen saja, tidak pada teman-temanku. Sulit sekali rasanya menerima bahwa aku tidak bisa lagi menjadi bagian dari kampus dan tidak bisa mewujudkan cita-citaku untuk bisa jadi sarjana.
Namun, aku selalu bersyukur mengenal Algooth Putranto sebab banyak sekali hal yang Beliau ajarkan kepadaku, baik secara langsung atau tidak. Katanya,
Hidup itu ya emang penuh masalah, kalau nggak ada masalah ya kamu nggak hidup.
Kuliahlah, cari jaringan, cari network yang bisa bikin kamu jadi lebih baik.
Jangan kepentok sama status sarjana, lo cuma butuh jadi orang cerdas dan beradab aja untuk bisa diterima.
Lo harus siap segala kondisi ketika lo dibandingin sama sarjana lain. Tapi, bercayalah sama gue, once lo sudah punya portfolio, orang nggak akan pernah mempermasalahkan ijazah lo.
Berbekal dengan prinsip-prinsip tersebut, aku jadi semakin berani menghadapi dunia. Iya, berkat dosen tercintaku itu. Dan meskipun kami jarang bercakap dan kadang berdebat, Beliau selalu mengajarkanku lewat sikap. Bukan hanya sekadar kata-kata belaka. Ah, pokoknya kalau nulis tentang Beliau nggak akan ada habisnya, deh. Beliau itu istimewa. Hahahaha
Dan sebab aku menganut prinsip dari Beliau, kini di mana-mana banyak yang bertanya "Kamu Lulusan Universitas Mana?" dan aku hanya tersenyum, sebab aku bersyukur meskipun hanya lulusan SMK, aku punya kualifikasi yang membuatku dikira lulusan sarjana :))
Aku rasa mba Relita dan mba Yuli bukan tanpa sebab memilih tema guru untuk tulisan kali ini. Karena guru memanglah seseorang yang meskipun kita berjumpa sekali, tetapi ilmunya akan selalu kita terapkan berkali-kali. Betul, kan? ^^
Salam,
Dan sebab aku menganut prinsip dari Beliau, kini di mana-mana banyak yang bertanya "Kamu Lulusan Universitas Mana?" dan aku hanya tersenyum, sebab aku bersyukur meskipun hanya lulusan SMK, aku punya kualifikasi yang membuatku dikira lulusan sarjana :))
Aku rasa mba Relita dan mba Yuli bukan tanpa sebab memilih tema guru untuk tulisan kali ini. Karena guru memanglah seseorang yang meskipun kita berjumpa sekali, tetapi ilmunya akan selalu kita terapkan berkali-kali. Betul, kan? ^^
Salam,
13 Comments
Keren mba perjuangan hidupnya, semoga Allah memudahkankan langkah mba selanjutnya dalam kehidupan yaa. Aamiin. Benar memang, yg terpenting dr bangku sekolah adl mjd org beradab dan cerdas, dan yg dibutukan u.meraih sukses adl fortofolio kita..keren nasihatnya pa algooth
BalasHapusIya, mba relita. Pada akhirnya dunia butuh lebih dari orang yang cerdas hehehe semoga banyak dari sekitar kita yang sama-sama memegang prinsip ini ya, mba :)
HapusSep, ceriytanya syik, tapi ad something missing, pas dosen mu masuk ruang theater dan kamu nangis itu kenapa? Jelasin dong.
BalasHapusoiya, hehe siap, pak. ditambahi dulu ^^
HapusSama paragraf terakhir kok melompat ke tema guru, hehehehe.
BalasHapusHehe iya, Pak. Ada tema tentang guru yang harus saya tulis di blog dan dosen saya ini yang saya angkat untuk jadi obyek dan subyek heheh
HapusCerita yang menarik dan inspiratif, sayang kurang panjang udah keburu selesai ceritanya. Hehehe, salam kenal.
BalasHapusWah, terima kasih sudah membaca, mas.
HapusKurang panjang, ya? Saya tambahin deh hehe.
Salam kenal, ^^
Boleh2, ditunngu kalo gitu, tapi enggak panjang2 juga, malah jadi novel entar.:)
Hapushahaha pokoknya pantengin blog saya terus ya mass, jangan bosan :))
HapusSiap dah siap.. :)
Hapusinspiratif...sory kepo mbak...hehehe
BalasHapusWaaahhh makasih mas alan sudah mampir hehehe
HapusHalo!
Terima kasih telah membaca blog www.dwiseptia.com. Semoga konten yang ada di blog ini bisa menginspirasi. Doakan saya bisa produksi konten yang lebih baik, ya!
Oh, ya kalau ada rekues konten silakan tulis di kolom komentar, ya! ^^