Photo by: Unsplash - @Arjunsyah_ |
Beberapa waktu yang lalu, aku dihadapkan pada suatu statement, yakni:
Menjadi spesialist itu memang penting, tetapi akan lebih baik bila kita bisa menjadi seorang generalist.
Well, noted. I'm trying so hard to understanding this statement while other of my friend said this kind of sentences to me:
Sudah, kamu itu cukup jadi penulis saja. Jangan merambah ke dunia lain yang "bukan kamu." Beri kesempatan orang lain untuk unggul di bidang lain, seperti apa yang sudah kamu dapatkan saat ini. Beri mereka kesempatan yang sama untuk bertumbuh sepertimu.
I'm not trying do defense all the things I get.
Actually, after I hear the statement, it really made me suck in the deep though. Tahu alasannya? Ada kontradiksi yang menarik dari dua statement yang muncul dari dua kepala yang berbeda.
See, dua kepala yang artinya adalah ada perbedaaan perspektif yang memengaruhi tentang pandangan-pandangan seseorang terhadap sesuatu atau seseorang yang lain.
Being An Ambitious Person is Kinda Sucks
Honestly, aku terjebak dalam insecurity lingkungan yang selalu menekanku tak tidak habis-habisnya "mengataiku" bahwa aku adalah seseorang yang terlalu ambisius. Yes, u read it well. Septi is an ambitious girl. Seseorang yang penuh dengan ambisi dan teramat sangat visioner. But hey! Jangan dikira menjadi seseorang yang ambisius itu semenyenangkan itu. Ada banyak hal yang membuatku takut untuk tetap menjadi diriku sendiri akibat terlalu banyak di sekitarku yang bilang, bahwa:
Jangan terlalu menggebu-gebu jadi cewek, nanti cowok pada takut deketin, lho.
Jangan pinter-pinter, kasian nanti pada nggak bisa ngimbangin, lho.
Mbok ya jadi orang tuh yang biasa-biasa aja biar yang mau ngajak temenan nggak takut kalah pinter sama kamu.
And so many statement like this yang buat aku jadi bener-bener mikir sekadar cuma nanya ke diri sendiri, "Memangnya salah ya kalau aku pengen pinter?" "Memangnya salah ya kalau aku ingin unggul dalam satu bidang?" "Memangnya salah ya kalau punya visi misi buat masa depan?" "Memangnya salah ya menjadi seorang cewek yang penuh dengan ambisi?"
I'm getting tired of this dan akhirnya memutuskan untuk, baiklah, aku akan menjadi biasa saja demi bisa hidup dengan tenang dan tidak tersiksa dengan judgement yang terlalu banyak dari lingkungan di sekitarku.
---
And Now Life Dragging Me To Contradiction Perspective
Sebut saja, rekan kerjaku terang-terangan bilang bahwa being spesialist is good, but it better for me if I can be a generalist too. It drag me into the feeling like "WHAT THE KIND OF THIS SITUATION?" Setelah bertahun-tahun aku bersusah payah untuk, baiklah, aku harus menyadari bahwa aku punya kapasitas untuk tidak menganggap bahwa aku bisa di semua hal dan semua bisa. Sebab, ada orang lain yang lebih bisa untuk menguasai hal tersebut dan dia pekerjaan itu lebih efektif jika bukan aku yang handle.
Entah mengapa aku merasa ada yang salah, pada diriku mungkin. Ada pemikiran yang menjebakku pada lingkaran berpikir bahwa
Setiap orang itu terlahir menjadi perfeksionis dengan standar masing-masing yang mereka buat dan mereka jalani untuk diri sendiri atau untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan dia.
No, ini tidak sama dengan "Lah, berarti kamu nggak bisa terima masukan, dong?" Bukan! Bukan itu maksudnya... Tapi, lebih ke andai memang kita dipaksa untuk menjadi seorang generalis, lalu kita menguasai berbagai bidang sedangkan kita bekerja sama dengan orang-orang yang lebih ekspert di bidang tersebut, yang terjadi bukan malah kita jadi belajar hal baru, melainkan kita jadi buang-buang waktu karena sebenarnya kita unggul di bidang lain, tetapi kita memaksa diri kita untuk ada di kondisi yang kita tidak bisa, namun memaksa diri kita untuk bisa. Hanya untuk sekadar mendapat predikat bahwa: Kita bisa melakukan apapun.
Aku merasa bahwa menyelesaikan pekerjaan bukan hanya sekadar "menyelesaikan pekerjaan", melainkan seharusnya bisa memberikan value, impact atau perubahan yang bisa membuat kita menjadi spesialist yang nggak cuma sekadar punya title.
Simply way, let me said that done the task is not only about say to the world that "I'VE BEEN DONE THIS TASK," but I feeel I have to say "I'm done with this, I am doing this because of....... and after this i'm gonna doing...... for a better result."
Seperti yang aku percaya dan tanamkan pada diri sendiri bahwa melakukan kesalahan itu tidak sesederhana trial and error, tetapi adalah tentang trial and measure. Apakah kesalahan yang kita lakukan menjadikan kita sebagai seseorang yang lebih berkembang atau justru menjadikan kita sebagai seseorang yang penuh dengan makian karena terlalu memaksakan keadaan?
Silakan menjawab dengan perspektif masing-masing.
Salam.
22 Comments
sebenernya bisa menguasai banyak hal itu bagus. Bisa menjadi specialist di satu bidang aja juga bagus. Punya keinginan untuk belajar banyak hal itu bagus jadi gak mentok di situ situ aja pengetahuannya.
BalasHapusWell noted. Thank you, kak! :)
HapusJadi inget sosok Mr.Chen di film Big Brother (2018)
BalasHapusWaaahh aku terharu dikomen sama mba ocha :") Makasih mbaa sudah mampir :)))
HapusAku kok malah pengen dadi orang yang bisa melakukan banyak hal ya? Sepertinya seru kalo jadi ahli dalam banyak bidang seperti kamu Sep. Jadi spesialis bisa sangat membosankan, cuma berkemampuan rata2 apalagi. wes seng penting bahagia lah.
BalasHapusWahh mas nuno. Aku cuma bisa nulis sama sambat kok, mas hahaha. :")
Hapusbener mas, sing penting bahagia yaa mas :)
Well, semacam ini juga kurang lebih yang terjadi pada diriku. Tapi jadi spesialis bukan berarti nggak boleh belajar "sesuatu" yang lain kan ya. Menurutku, kadang sesuatu yg kita fikir di luar spesialisasi kita itu sebenarnya juga bermanfaat (untuk mendukung dan melengkapi spesialisasi kita).
BalasHapusKatakanlah kita sebagai blogger, merambah desain grafis, fotografi dan videografi justru bisa meningkatkan nilai blog post kita. Bukan berarti karena mau sepenuhnya jadi desainer grafis dan profesi-ptofesi lain yg berhubungan dengan keahlian itu.
Generalis juga bukan berarti semua muanya asal mau dikuasai juga. Seperti apa kata mba Septi, bagus kalau bisa menguasai (tingkatkan). Tapi nggak perlu memaksakan kalau memang nggak mampu.
Yah itu sih pure opiniku dari pemikiran yang semacam isi blog post mba Septi ini.
Maapkeun komennya berasa gerbong kereta. Hihi
Intinya mau jadi generalis atau spesialis, kamu harus jadi kamu, mba :) hehehe
HapusKenapa musingin komentar orang? Jalani saja apa yg paling nyaman utkmu.. Karena kita tak akan mungkin menyenangkan semua org, tapi sangat penting untuk membuat nyaman diri sendiri..sepanjang tak merugikan org lain. Maaf, itu pendapatku pribadi..hehe..
BalasHapusKarena pada akhirnya kita hidup bersama orang lain mba sebagaimana makhluk sosial pada umumnya :")
HapusMenurutku sih yaa lebih baik bisa menempatkan diri aja saat itu harus berperan sebagai apa. Switching 😁
BalasHapusGood answer, Thanks mbaa :)
HapusSaya meyakini bahwa setiap manusia dikaruniai lebih dari 1 bakat. Jadi, kalau mau, kita bisa menjadi spesialis di dua atau tiga bidang sekaligus (tidak cuma satu).
BalasHapusUntuk masalah 'generalisasi', menurut saya ini lebih ke arah kemampuan beradaptasi saja 😁
Baca ini membuka mata bahwa terkadang bagaimana cara kita menilai orang lain sering terkait dgn bagaimana cara kita menilai diri sendiri. Kinda familiar dgn kalimat "Si A tuh orangnya ambis banget, aku kok nggak get a Long, ya" maybe cara ssorg menilai orang lain sebenernya proyeksi penilaian dirinya sendiri. That's why harusselalu bertanya dulu penilaian diri ini objective atau subjective
BalasHapusLoh kok kan malah bagus sep serba bisa, multitalent, kok aneh aja kalau ada yang bilang jangan serba bisa mah hihi
BalasHapuswah berat.. berat.. kamu cukup perfeksionis ya. dan itu sifat yg bagus :)
BalasHapusKalo menurutku sih bisa melakukan banyak hal bagus sept tapi kita hrs punya spesialisasi yg kita tekuni betul2. Kalo ky aku gini pengen bisa banyak hal, tapi jadi ga fokus akhirnya di beberapa hal td kemampuannya ya rata2 aja. Suamiku menyarankannya aku fokus ke satu hal dulu kalo udah jalan bener bisalah melirik yg lain.
BalasHapusIya, kadang bingung ya sebagai penulis buku, ada yang bilang buku aja ngga usah ngeblog, hehe tapi keduanya seru dan menyenangkan, ya ditekuni saja..
BalasHapussemangat septi, terkadang omongan orang lain dianggap lewat saja hehehe
BalasHapusSemangat, Septi. Selagi masih busa belajar, the show must go on. Kalau aku ko lebih setuju seseorang jadi expert dalam bidang tertentu tanpa membatasi skill bidang lainnya. Namanya hidup terus berkembang ya kan? #apasih
BalasHapusBtw teman Septi yang bilang orang jadi ga mau berteman karena takut kalah pinter, itu mau nyari teman apa nyari saingan? Hihi.
Kalau aku malah seneng punya temen pinter kaya Septi, karena jadi bisa belajar banyak 😍😍
pengen bisa ini itu, pengen punya ini itu, pengen ikutan ini itu. Kategori yang ambisius nggak sih? aku dulu begitu. Nggak sadar sama sekali tentang pengen ini itu apakah ambisius atau enggak, sampai ada orang yang ternyata menilai ku ambisius. Weel, aku baru sadar kalau penilaian orang lain kepada ku teryata begitu. YAh tapi nggak kupikirin juga, emang kenapa kalau ambisius? salah? enggak sama sekali kok. Asal nggak merugikan orang, ku pikir nggak ada yang salah.
BalasHapusAku suka pemikirannya mba. Kalo aku cenderung untuk memilih jadi spesialis daripada generalis. Tapi bukan berarti membatasi diri dari belajar hal2 baru. Agak sepemikiran yaa kita? Hehe
BalasHapusHalo!
Terima kasih telah membaca blog www.dwiseptia.com. Semoga konten yang ada di blog ini bisa menginspirasi. Doakan saya bisa produksi konten yang lebih baik, ya!
Oh, ya kalau ada rekues konten silakan tulis di kolom komentar, ya! ^^